Posted by : Sarah Larasati Mantovani Thursday 17 October 2013

Syaikh Muhammad Salim Bayua Maninjau
“Ayahnya Abo (kakek) tu dulu ulama terkenal di Maninjau, namanya Syaikh Salim”, cerita Nek Is, sepupu dari almarhumah nenek saya, saat saya mengunjungi kediamannya di Kaliurang, Yogyakarta, awal Juli 2013 lalu.

Dengan mengandalkan sisa-sisa ingatannya, nenek berusia sekitar 77 tahun tersebut mencoba menuliskan kembali silsilah keluarga kami yang ia tuliskan di atas sebuah kertas dan papan yang biasa dipakai untuk ujian nasional. Sementara saya, hanya bisa mendengarkan penuturannya dengan rasa takjub.

“Syaikh Salim punya istri namanya Nenek Nurbi, Nenek Nurbi ini istri termuda dari Syaikh Salim, nah dari Nenek Nurbi lahirlah Abo Abdul Bar Salim, Abo ni menikah dengan Nenek Jusni, anaknya uda Ranin yang merupakan saudara kandung dari Nenek Nurbi”, lanjutnya.

Sementara di sela-sela ceritanya, beberapa kali ia menanyakan apakah saya tahu atau kenal saudara-saudara dari Ayah yang ia sebutkan, saya hanya bisa menggeleng.

Jujur, saya belum banyak tahu mengenai silsilah keluarga Ayah, mulai dari Abo hingga ke garis atas atau garis samping. Saya belum pernah tahu kalau kakek buyut saya adalah seorang ulama besar di Bayur. Karena ketidaktahuan akan sejarah kakek buyut sendiri itulah saya merasa ada puzzle yang hilang dari silsilah keluarga Ayah yang belum saya temukan.

Dengan mengandalkan mesin pencari Google, saya coba telusuri siapa kakek buyut saya tersebut. Ternyata sebuah blog yang menuliskan sejarah Sumatera Thawalib menyebutkan nama kakek saya di dalamnya dan ia hidup sezaman dengan haji Rasul.

Dalam blog tersebut disebutkan, bahwa kakek buyut saya merupakan murid dari Syaikh Abdussalam. Sementara Syaikh Abdussalam menjelang akhir abad ke 19 berhasil membentuk pengajian yang memperoleh cukup banyak pengikut sehingga pada tahun 1905-an, ia sempat membangun sebuah gedung pendidikan dan masjid. Namun, pada tahun yang sama pula, beliau wafat dan usahanya tersebut dilanjutkan oleh murid-murid utamanya seperti Haji Rasul, kakek buyut saya sendiri dan Tuangku Salim Bayur. Dari sana lah lahir Sumatera Thawalib cabang Maninjau.

“Mereka lah tiga orang ulama yang menggerakkan pengajian ke arah yang lebih baik menuruti kebutuhan dan perkembangan zaman. Ilmu semakin bertambah, kaji semakin dipertinggi mereka, terutama oleh Haji Rasul sekembalinya dari Mekkah”, ungkap Haji Oedin Rahmani dalam buku Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam : Kasus Sumatera Thawalib, halaman 140.

Namun sayang, Sumatera Thawalib ini tidak bertahan lama. Sekolah ini akhirnya terpaksa ditutup pada masa Permi (Persatuan Muslimin Indonesia). beberapa pengasuhnya yang terlibat dalam aktivitas politik Permi, seperti Haji Oedin Rahmani akhirnya dibuang ke Digul.

Sementara dalam blog seorang mahasiswa S2 Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan bahwa Syaikh Salim menerima penyematan beberapa buah sya’ir berbahasa Arab dari Syaikh Muhammad Sa’ad Al-Khalidi Mungka yang dikenal merupakan Syaikhul Masyaikh (guru sekalian ulama-ulama Minangkabau). Saya menduga Syaikh Muhammad Sa’ad merupakan guru dari kakek buyut saya juga.

Belum yakin dan tidak puas dengan apa yang saya dapat, saya mencari ke sumber lain yaitu paman saya yang merupakan kakak Ayah dan anak tertua dari Abo Abdul Bar Salim. Padanya, saya mengungkapkan apa yang saya dapat, mulai dari Nek Is hingga mesin pencari Google.

“Ya benar”, Adang – panggilan saya untuknya, membenarkan hasil penelusuran saya tersebut. Bahkan, pria yang lahir pada kemerdekaan Republik Indonesia ini menambahkan, “Sekolah Tarbiyah yang didirikan Nambo Salim di Bayur Maninjau masih ada”.

13 Juli 2013, saya mendapatkan tambahan informasi dari seorang rekan Minang setelah memperbaharui status tentang Syaikh Salim di akun Facebook, rupanya ia mendapatkan informasi tersebut dari website dpdperti Sumatera Barat. Selain itu, Zamzami, seorang sahabat Minang saya yang merupakan cicit dari Syaikh Muhammad Yunus (Tuanku Sasak, Pasaman) dan hidup sezaman dengan kakek buyut saya juga memberikan informasi yang sama.

Subhanallah… bukan main bahagianya saya, informasi dari mereka ternyata bisa melengkapi informasi yang diberikan oleh paman saya.

Syaikh Salim, Ulama yang Kharismatik

Belum bisa saya pastikan kapan ia lahir, namun menurut keterangan dari ayah saya yang ia dapat dari ayahnya juga, Syaikh Salim meninggal pada tahun 1932.

Menurut Masadie Haryono, salah satu alumni MTI Bayur, Maninjau, makam Syaikh Salim berada di dekat Masjid Raya Bayur. Masjid Raya Bayur merupakan salah satu masjid yang salah satunya didirikan oleh Syaikh Salim bersama-sama Ninik Mamak, Cadiak Pandai, Alim Ulama dan seluruh penduduk Nagari Bayur pada tahun 1902.

Bernama lengkap Muhammad Salim Al Khalidi, bergelar Labai Sutan. Ia merupakan seorang ulama besar yang sangat berpengaruh di Nagari Bayur.

“Sepanjang yang disampaikan ustadz, beliau ulama kharismatik dan berwatak keras, maksudnya tidak tolerir terhadap hal-hal yang bertentangan dengan agama”, ungkap Masadie Haryono, salah satu alumni MTI Bayur Maninjau saat saya tanyai, 18/07/2013.

Berbicara mengenai sepak terjang Syaikh Salim pasti tidak terlepas dari MTI Bayur Maninjau yang ia dirikan dan Masjid Raya Bayur Maninjau yang nanti akan saya bahas pada bagian kedua.

(Bersambung)

{ 2 comments... read them below or Comment }

  1. saya juga lahir di bayur. ayah saya dari panurunan aia angek Gasang,, sama kasus nya.. saya tidak menemukan Garis Nasab setelah Abo

    ReplyDelete
  2. Kakek saya lahir 1901 berjarak 2 km dari Bayur

    ReplyDelete

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -